20110412

AGAMA DAN NEGARA

Pendahuluan
Biografi Mohammad Natsir.
Mohammad Natsir  ialah pejuang reformasi, tokoh pendidikan, pembela rakyat kecil, ahli dakwah dan negarawan yang pada tahun 1949 menyerahkan pemerintahan kepada Sukarno-Hatta. Natsir dilahirkan di Alahan Panjang, Solok pada tanggal 17 Juli 1908 (anak ke-3). Kedua orang tuanya berasal dari Maninjau, ayahnya Idris Sutan Saripado adalah pegawai pemerintah dan pernah menjadi Asisten Demang di Bonjol. Dia kemudian diangkat menjadi penghulu atau kepala suku Piliang dengan gelar Datuk Sinaro Panjang di Pasar Maninjau. Nur Nahar, aktifis JIB pada tahun 1934 di Bandung dengan enam orang anak. Pada tanggal 7 Februari 1993 Natsir meninggal dunia di Jakarta dan dikuburkan di TPU Karet, Tanah Abang.
Natsir mulanya sekolah di SD pemerintah di Maninjau, Solok, Padang dan meneruskan di Mulo Padang, AMSA 2 di Bandung. Walaupun ia mendapat beasiswa di perguruan tinggi, tapi ia memilih menjadi pejuang. Pendidikan agama selain dari orang tuanya, ia masuk Madrasah Diniyah di Solok pada sore hari dan belajar mengaji Al Qur’an pada malam hari di surau. Pengetahuan agamanya bertambah dalam di Bandung ketika dia berguru kepada ustaz Abbas Hasan, tokoh Persatuan Islam di Bandung.

Natsir mendalami Islam mengenai teologi (tauhid), ilmu fiqih (syari’ah), tafsir dan hadis, filsafat, sejarah, kebudayaan dan politik Islam. ia juga belajar dari H. Agus Salim, Syekh Ahmad Soorkati, HOS Cokroaminoto dan A.M. Sangaji, Mohammad Abduh di Mesir. 

Pengalaman organisasinya : ia menjadi wakil ketua JIB pada 1929-1932 di Bandung, ketua Partai Islam Indonesia Bandung, anggota Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI), anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), menteri RIS, Dalam kabinet Syahrir I dan II (1946-1947) dan Hatta 1948 Natsir ditunjuk sebagai Menteri Penerangan, pemimpin parta Islam Masyumi (Majlis Syura Muslimin Indonesia). hubungan dengan tokoh politik seperti Wiwoho, Sukarno, Kasman Singodimejo, Yusuf Wibisono dan Mohammad Roem. Ia juga memimpin dan mendirikan lembaga Pendidikan Islam (Pendis) dari TK, HIS, Mulo dan Kweekschool 1932-1942.


karyanya seperti Panji Islam, Al Manar, Pembela Islam dan Pedoman Masyarakat. Natsir menolak ide sekularisasi dan westernisasi ala Turki di bawah Kemal Attaturk dan mempertahankan ide kesatuan agama dan negara. munculnya kegiatan kedaerahan yang berpuncak pada pemberontakan daerah dan PRRI pada tahun 1958, Natsir yang dimusuhi Sukarno bersama Sjafruddin Prawiranegara dan Burhanuddin Harahap dan melarikan diri dari Jakarta, Karena itu partai Masyumi dan PSI Syahrir dipaksa membubarkan diri oleh Sukarno.diantara jasanya yaitu ikut membantu pemulihan hubungan Indonesia dengan Malaysia. lembaga dakwah yang ia dirikan sedikit membantu pendirian rumah sakit Islam dan pembangunan mesjid, dan mengirim mahasiswa tugas belajar mendalami Islam di Timur Tengah dan menjadi tokoh nasional yang religius seperti Amien Rais Yusril Ihza Mahendra, dan Nurchalis Majid. 

Kegiatan ini juga membawa Natsir menjadi tokoh Islam terkenal di dunia internasional dengan menjadi Wakil Presiden Kongres Islam se dunia (Muktamar Alam Islami) yang berkedudukan di Karachi (1967)dan anggota Rabithah Alam Islami (1969) dan anggota pendiri Dewan Masjid se Dunia (1976) yang berkedudukan di Mekkah. Di samping bantuan para simpatisannya di dalam negeri, badan-badan dunia ini kemudian banyak membantu gerakan amal DDII, termasuk pembangunan Rumah Sakit Islam di beberapa tempat di Indonesia. Pada tahun 1987 Natsir menjadi anggota Dewan Pendiri The Oxford Center for Islamic Studies, London. Namun kebebasannya hilang kembali karena ia ikut terlibat dalam kelompok petisi 50 yang mengeritik Suharto pada tahun 1980. ia mandapat penghargaan pada tahun 1957 dari Republik Tunisia karena memperjuangkan Negara-negara Islam di Afrika Utara, tahun 1967 bergelar Doktor HC dari Universitas Islam Libanon di bidang politik Islam, menerima Faisal Award dari kerajaan Saudi Arabia pada tahun 1980 untuk pengabdiannya pada Islam dan Dr HC dari Universitas Sains dan Teknologi Malaysia pada tahun 1991 dalam bidang pemikiran Islam.

  1. Hukum Perspektif Islam
a). pengambilan Hukum Syar’i menurut Yusuf Al-Qadrawi

            Islam memuat ketetapan-ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya, baik berupa larangan maupun suruhan, meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia. Hukum syari’ah (Islamic law)[1], yang memuat 3 (tiga) hal, yaitu al-aħkam al-i’tiqadiyyah[2], al-aħkam al-wujdaniyyah[3], dan al-aħkam al-‘amaliyyah[4] (Khalil, tt: 9), dan hukum fikih itu cenderung relatif, tidak absolute karena selalu berubah sesuai perkembangan zaman, akan tetapi peran islam disini adalah membentengi sikap dan moral manusi. Yusuf al-Qaradhawi[5] adalah seorang ulama kontemporer yang berbicara tentang hokum dalam fikh islam, dan menyikapi realitas social kekinian baik positif atau negatif. ijtihad pada dasarnya berfungsi untuk memberikan justifikasi terhadap suatu realitas kemasyarakatan (at-ta’thir as-syar’i li al-waqi’) sehingga ia harus seiring sejalan dengan perjalanan realitas kehidupan (ar-Raysuni,2000: 64), contohnya realitas ke-Indonesia-an tentunya juga perlu disikapi dengan fikih Islam. Salah satu misal dalam hal ini adalah, realitas yang terjadi di kota-kota besar seperi Jakarta, di mana lalu lintas kendaraan sangat padat sehingga seseorang bisa terjebak di jalan selama berjam-jam lamanya. Dengan adanya kondisi yang demikian ini, bagaimanakah hukum fikih dalam menjamak shalat karena macetnya lalu lintas. dari fenomena di atas adalah bahwa secara teoretis bisa dikatakan Islam datang dengan membawa ajaran-ajaran serta nilai-nilai yang mempunyai dua sisi kaku/rigid (dapat dinegosiasikan tsawabit) dan lentur/fleksibel (bisa dinegosiasikan mutaghayyirat). 

Secara umum, hubungan antara realitas sosial dan formulasi hokum dalam proses tasyri’ di masa Rasulullah saw terekam dalam Al-Qur`an dan Sunnah akan diklasifikasi menjadi tiga bagian, yaitu mengenai dialektika antara Al-Qur`an dengan realitas sosial, dialektika antara Sunnah Rasul dengan realitas sosial, dan ijtihad Rasul. al-Qaradhawi melihat metodologi fikih yang dianut oleh Sayyid Sabiq yang mendasarkan fikihnya kepada al-Qur`an dan sunnah (fiqh as-sunnah) dan dikenal dua corak metodologi, yaitu metode Hanafiyyah (Fuqaha`) yang bersifat induktif pada masalah furu’ dan metode Syafi’iyyah (Mutakallimin) bersifat teoritis dan tidak statis atau menyesuaikan zaman dan waktu yang mengarah pada masalah besar karena beberapa factor, diantaranya, kontak dengan kebudayaan lain, sistem pendidikan formal yang maju, sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan-keinginan untuk maju, seperti pemberian Nobel Award, sistem terbuka lapisan masyarakat, penduduk yang heterogen, dan ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang kehidupan tertentu. menurut para ahli ilmu social perubahan masyarakat berdasarkan terjadinya teknologisasi kehidupan, perilaku masyarakat yang semakin fungsional, masyarakat padat informasi.

Dengan demikian, dalam madzhab kedua ini ditemukan adanya ulama’ yang berbeda (tidak bersesuaian) dengan Imamnya dari sisi kaidah besar (ushul) meskipun dalam hal kecil (furu’) dia menganutnya, seperti al-`Amidy yang berpendapat bahwa ijma’ sukuty (diam, tidak memprotes berarti setuju) adalah hujjah syar’iyyah sedangkan Imam Syafi’i tidak menganggap ijma’ tersebut sebagai hujjah.
 
Pada dasarnya hukum-hukum diundangkan untuk kepentingan manusia dan kepentingan manusia itu tidak sama satu dengan yang lainnya karena ada perbedaan waktu dan tempat dan bukan suatu kebutuhan. Fikih atau ijtihad dalam fikih adalah memberikan kerangka syar’i atas realitas, baik realitas individual maupun kolektif, realitas organisasi maupun Negara, Realitas menjadi lemah secara syar’i karena tidak mendapatkan legitimasi syara’, sedangkan fikih menjadi lemah karena jauh dari jangkauan kaum muslimin sebagai penggunanya. Akhirnya Al-Qadrawi menawarkan ijtihad kontemporer seperti Ijtihad Intiqa’I (memilih suatu pendapat terkuat dengan fatwa dan putusan hokum) , Ijtihad Insya`I pengambilan konklusi hukum dari suatu persoalan yang belum pernah dikemukakan oleh ulama terdahulu

b). Wâqi’iyyah al-Islâm Menurut al-Qaradhawi
Waqi’iyyah al-Islam berarti bahwa Islam selain berisi tentang ajaran akhlak yang bersifat ideal yang mempunyai cara tersendiri untuk memperlakukan realitas yang sedang bergulir, seperti misalnya Al-Qur`an mengajarkan, bahwa jika seseorang mendapat perlakuan jelek dari orang lain, maka ia diperbolehkan membalas secara setimpal akan tetapi berbeda dengan dendam, dalam menjaga hak-hak manusia, adanya hukum khusus dalam keadaan darurat (individual maupun kolektif), islam mengakui adanya perubahan dalam kehidupan manusia, adanya at-tadarruj (berangsur-angsur) dalam mewajibkan atau mengharamkan sesuatu. Maka menurutnya jika Islam adalah agama yang realistis, tentunya hukum-hukumnya pun harus bersifat realistis, tidak mengesampingkan realitas yang sedang berjalan. Ibnu ‘Asyur mengidentifikasi adanya 12  qaulī (perkataan) maupun fi’lī (perbuatan) muncul karena situasi memberikan hokum syari’ah terhadap sesuatu (ħal at-tasyri’), memberi fatwa, memutuskan suatu perkara (ħal al-Qadha`), memberi perintah (ħal al-imarah), memberi petunjuk/arahan (ħal al-hadyī wa al-irsyad), mendamaikan antara kedua belah pihak (ħal al-musħal ahah baina an-nas), member isyarat kepada orang yang minta diberi isyarat (ħal al-Isyarah’ala almustasyir),  memberi nasehat (ħal an-nashihah), meminta untuk melakukan hal terbaik (haml an-nufus ‘ala al-akmal min al-ahwal), mengajarkan mengenai pelajaran “kelas tinggi” (ħal ta’lim al-haqiqah al-‘aliyah), mengajari tata krama (ħal at-ta`dib), dan memberikan arahan yang tidak ada hubungannya dengan tasyri’ (ħal at-tajarrud ‘an al-irsyad fi ma yata’allaq-u bi ghairi ma fi hi at-tasyri’ ).

c). Beberapa Contoh Kasus Kontemporer dalam Fikih Realitas al-Qaradhawi
Hubungan antara fikih dengan realitas kitta ambil dari fatwa al-Qaradhawi dalam hal kepemimpinan perempuan (dalam masalah politik), dan mengucapkan selamat hari raya terhadap pemeluk agama lain(dalam masalah interaksi antar manusia/mu’amalah).

  1. Pengertian Negara Dan Pengambilan Hukumnya
Negara secara istilah berasal dari kata staat, state, etat dan disebut juga status replubicae yang berarti keadaan atau sifat yang tegak dan tetap. Secara terminology, Negara diartikan sebagai organisasi tertinggi oleh suatu kelompok yang mempunyai cita-cita bersatu di daerah tertentu dengan pemerintahan yang berdaulat dan mengandung nilai konstitusi. Dan syarat Negara adalah ad masyarakat, wilayah, presidan dan pemerintah (konstitusi). Dan menurut Roger H.Sultau, Negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur persoalan bersama atas nama masyarakat. Lain halnya Harold J.Laski mendefinisikan sebagai masyarakat yang mempunyai intregasi karena mempunyai wewenang yang memaksa. Sedangkan konsep Roger M.Mac  Iver, Negara ialah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban masyarakat di suatu wilayah berdasarkan hukum pemerintahan. Dan dalam Al-quran dan sunnah, konsep Negara berasal dari 3 paradigma yaitu teori khalifah, teori imamah, dan paradigm teori imamah dan pemerintahan. Maka disimpulkan bahwa Negara adalah suatu daerah territorial yang rakyatnya diperintah oleh pejabat untuk taat pada undang-undang melalui penguasaan monopolis dari kekuasaan yang sah.

Tujuan Negara ialah memperluas kekuasaan, menyelenggarakan ketertiban hokum, dan mencapai kesejahteraan umum. Plato mengatakan bahwa tujuan Negara ialah memajukan kesusilaan manusia sebagai individu atau makhluk social. Sedangkan menurut Roger H.Soltau adalah memungkinkan rakyatnya berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin. Dan tujuan Negara RI adalah sesuai dengan UUD 45 yaitu memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kecerdasan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. 

Adapun teori terbentuknya sebuah Negara ada 5, yaitu :
1. Teori Kontrak Sosial: menurut Thomas Hobbes (1588-1679) memberikan kekuasaan dan menyerahkan hak memerintah kepada orang yang ada dalam dewan dengan syarat bahwa saya memberi kekuasaan dan keabsahan seluruh tindakan dalam suatu cara tertentu. Dan menurut John Locke (1632-1704) suatu pemufakatan yang dibuat berdasarkan suara terbanyak dapat dianggap sebagai tindakan seluruh masyarakat karena persetujuanindividu untuk membentuk Negara, mewajibkan individu lain untuk menaati Negara yang dibentuk dengan suara yang terbanyak, dan Negara yang dibentuk dengan suara terbanyak itu dapat mengambil hak-haknya milik manusia dan hak lain yang tidak dapat dipisahkan, kemudian dasar kontraktual dari Negara dikemukakan Locke sebagai peringatan bahwa kekuasaan penguasa tidak mutlak tetapi selalu terbatas, sebab dalam mengadakan perjanjian dengan seorang atau sekelompok, dan individu tidak menyerahkan seluruh hak alamiah mereka. Lalu menurut Jean Jacques Rousseau, Negara atau badan korporatif kolektif dibentuk untuk menyatakan kemauan umum (general will) yang ditujukan pada kebahagiaan bersama, dan memperhatikan kepentingan individu, dan kedaulatan terletak pada tangan rakyat melalui kemauan umumnya.

2. Teori Kekuatan: Negara yang pertama adalah hasil dominasi dari kelompok yang  kuat terhadap kelompok yang lemah, dan terbentuk dengan penaklukan dan pendudukan dari sekelompok etnis yang lebih kuat.
3. Teori Ketuhanan: dibentuk oleh Tuhan dan pemimpin ditunjjuk oleh tuhan, raja atau pemimpin bertanggung jawab hanya kepada Tuhan.
4. Teori Organis: Negara disamakan dan dianggap sama dengan makhluk hidup, dan individu yang merupakan komponen Negara disebut sel-sel makhluk tsb, kehidupan corporal sebagai tulang-belulang, undang-undang sebagai syaraf, raja sebagai kaisar, dan individu sebagai daging.
5. Teori Historis: lembaga social tidak dibuat tetapi tumbuh secara evolusioner sesuai dengan kebutuhan manusia. 

Asas Kewarganegaraan bias dilihat dari sisi kelahiran ( ius soli atau tempat kelahiran dan ius sanguinis atau darah keturuna), serta dari sisi perkawinan (menerapkan asas persamaan derajat yang tidak dapat merubah status kewarganegaraan secara sepihak, artinya suami dan istri baik sudah menikah ataupun belum, mereka tetap memiliki status kewarganegaraan asalnya sendiri), pun pula bias dilihat dari unsur pewarganegaraan (naturalisasi dengan hak opsi dan hak repudiasi). Adapun bentuk ataupun macam Negara, antara lain:

1. Negara kesatuan yang terbagi ke dua macam yaitu Negara dengan system sentralisasi dan Negara dengan system desentralisasi.
2. Negara federasi terbagi ke 3 kelompok: Monarki, Oligarki, dan Demokrasi.
Negara dan Agama kerap menimbulkan persoalan yang disebabkan perbedaan pandangan  bahwa agama bagian dari Negara atau Negara bagian dari dogma agama. Pada hakekatnya Negara sebagai persekutuan hidup bersama sebagai penjelmaan sifat kodrati manusia yang hubungan horizantalnya ingin mencapai tujuan yang sama sehingga Negara dijadikan manifestasi. Maka timbul 3 konsep hubungan agama dan Negara, yaitu:
1. paham Teokrasi: Negara menyatu dengan agama, karena pemerintahan dijalankan berdasarkan firman tuhan, dan segala tata kehidupan masyarakat, bangsa, Negara dilakukan atas titah Tuhan.
2. paham sekuler: norma hokum dibentuk atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama atau firman Tuhan, meski mungkin norma Negara bertentangan dengan norma agama.
3. paham komunisme: kehidupan manusia itulah yang menghasilkan masyarakat Negara, dan agama sebagai realisasi fantastis makhluk dan agama merupakan keluhan makhluk tertindas.

Kemudian konsep relasi agama dan Negara dalam islam, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa Negara adalah sebagai alat untuk menyebarkan agama bukan dari ekstensi agama. Kemudian Safi’i Ma’arif dan M.husein Haikal menegaskan istilah yang terdapat dalam alquran, kata daulah tidak berarti Negara tapi bias dipakai secara figuratif yang melukiskan peredaran kekayaan dan hak, kewajiban, etika dan moral rakyat kepada suatu Negara, dan akhirnya ditemukan teoritisi politik islam ke dalam 3 paradigma, yaitu:
1. Paradigma Intregalistik: agama dan Negara merrupakan kesatuan lembaga yang menyatu dan tidak dapat dipisah, sehingga mengartikan bahwa Negara merupakan lembaga politik dan agama.
2. Paradigma Simbiotik: agama dan negar suatu entitas yang berbeda tapi saling membutuhkan, maka konstitusi tidak hanya dari sosial kontrak tapi juga diwarnai hukum agama (syar’i).
3. Paradigma sekularistik: agama dan Negara 2 bentuk yang berbeda dan memiliki bidangnya masing-masing sehingga harus dipisahkan dan tidak boleh salah satunya melakukan intervensi, maka hokum yang berlaku adalah yang dibentuk dari sosial kontrak bukan dari hukum syar’i.

Kemudian hubungan Islam dan Negara di Indonesia digolongkan menjadi 2, yaitu:
1. bersifat Antagonistik: mencirikan adanya ketegangan antara Negara dan islam sebagai agama, politik islam dianggap sebagai penghalang terhadap implikasi tujuan Negara untuk menerapkan ideology pancasila. Bahtiar mengatakan, akar antagonism hubungan politik islam yang formalistic, legalistic, dan simbolistik dengan Negara tak dapat dilepas dari konteks pemahaman keagamaan yang berbeda, yang berdampak pada ideology dan konstitusi negara.
2. bersifat akomodatif: pada tahun 1980-an terlihat besarnya peluang islam mengembangkan wacana politik serta kebijakan yang struktura, legislatif, infrastructural, dan cultural. Menurut affan ghafar, umat islam merupakan kekuatan politik yang potensial sehingga dijadikan akomodasi agar menghindari konflik yang berdampak pada Negara RI. Dan menurut Thaba, sikap akomodif ini karena umat islam telah memahami kebijakan Negara dalam konteks pemberlakuan dan penerimaan asas Pancasila. Namun 2 alasan bahtiar ialah karena umat islam telah mengalami proses mobilisasi social, ekonomi, dan politik, serta adanya transformasi pemikiran dan tingkah politik umat islam.

  1. kesimpulan
Penulis mencoba mengartikan makna agama islam dan Negara agar menemukan titik temupengambilan dasar hokum di antara kedunya, sehingga dapatdiketahui hubungan yang erat antara agama dan Negara.dan dapat disimpulkan bahwa keterkaitan hubungan keduanya sangatlah erat dan mendukung karena agama islam khususnya akan membentuk moral bangsa yang semakin mengikiti perkembangan zaman, sehingga akan terbentuk jiwa yang kuat pada diri bangsa dan elemen-elemennya. 

Pada tahun 1986-1989, era soeharto, hubungan antara agama belum begitu baik karena masih adanya campur tangan politik kepada agama yang ada. Kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini tengah menghadapi ancaman serius berkaitan dengan mengerasnya konflik-konflik dalam masyarakat, baik yang bersifat vertikal maupun horizontal. Konflik-konflik itu pada dasarnya merupakan produk dari sistem kekuasaan Orde Baru yang militeristik, sentralistik, dominatif, dan hegemonik. Sistem tersebut telah menumpas kemerdekaan masyarakat untuk mengaktualisasikan dirinya dalam wilayah sosial, ekonomi, politik, maupun kultural. 

Keajemukan bangsa yang seharusnya dapat kondusif bagi pengembangan demokrasi ditenggelamkan oleh ideologi harmoni sosial yang serba semu, yang tidak lain adalah ideologi keseragaman. Bagi negara kala itu, kemajemukan dianggap sebagai potensi yang dapat mengganggu stabilitas politik.

Dalam realitas kehidupan berbangsa, ternyata persatuan mengalami pasang surut. Pada masa menjelang kemerdekaan, maka persatuan bangsa terasa makin menguat dan bergelora di mana-mana, yang kemudian melahirkan semangat dan kekuatan perlawanan kepada penjajah Belanda untuk merebut dan mendapatkan kemerdekaan. Bahkan, agama pun turut memberikan legitimasinya untuk memperkuat perlawanan terhadap penjajahan, sebagai bagian dari panggilan agama, karena agama yang mana pun melarang umatnya untuk melakukan penjajahan atas bangsa yang lainnya. Penjajahan dipandang agama sebagai suatu kezaliman yang harus dilawan oleh siapa pun. Akan tetapi, setelah kemerdekaan sudah dicapai dan sampailah kita untuk menata kekuasaan negara, maka kita pun segera berhadapan dengan usaha membagi-bagi kekuasaan pemerintahan, dan kepentingan membagi kekuasaan ternyata mempunyai kaitan dengan akar-akar konflik yang berbasis pada faham kedaerahan dan keagamaan, sehingga muncullah konflik politik kekuasaan yang berbasis fanatisme ras, suku dan keagamaan. Dalam konteks pengembangan kehidupan bangsa yang humanis, plural dan demokratis, baik pemerintah maupun masyarakat bertanggung jawab untuk membongkar struktur dan kultur dalam masyarakat yang masih diskriminatif. Kita tidak boleh lagi menyerahkan segala urusan kepada pemerintah sebagaimana yang sudah-sudah. Karena dengan begitu kita sebagai warga negara akan semakin kehilangan peran strategis, sementara pemerintah akan semakin dominan. Inilah momentum yang tepat bagi segenap warga negara Indonesia untuk berpartisipasi semaksimal mungkin dalam mengarahkan dan mengendalikan proses transisi bangsa dan negara ini menuju demokrasi yang sejati, atau minimal demokrasi yang stabil (stable democracy).

Selama berabad-abad, suku-suku bangsa di Indonesia umumnya hidup rukun tanpa benturan yang berarti. Falsafat Pancasila yang bertumpu pada agama lewat Ketuhanan Yang Maha Esa memberi konsep kedamaian abadi. Tiba-tiba pada masa reformasi, konflik kesukubangsaan, agama, pelapisan masyarakat sepertinya ikut mengusik kerukunan itu, seolah-olah menyimbolkan kemerdekaan dari depresi yang mendalam. Ibarat panas setahun dihapuskan hujan sehari. Semacam muncul stimulus perubah kepribadian pelbagai pihak dalam waktu sekejap.  Dalam realitas kehidupan berbangsa, ternyata persatuan mengalami pasang surut. Pada masa menjelang kemerdekaan, maka persatuan bangsa terasa makin menguat dan bergelora di mana-mana, yang kemudian melahirkan semangat dan kekuatan perlawanan kepada penjajah Belanda untuk merebut dan mendapatkan kemerdekaan. Bahkan, agama pun turut memberikan legitimasinya untuk memperkuat perlawanan terhadap penjajahan, sebagai bagian dari panggilan agama, karena agama yang mana pun melarang umatnya untuk melakukan penjajahan atas bangsa yang lainnya. Penjajahan dipandang agama sebagai suatu kezaliman yang harus dilawan oleh siapa pun.

Kemudian dari beberapa koflik dan pemecahan masalah berbangsa dan Negara, agama digunakan sebagai alat pemersatu dan penengah terhadap masalah yang muncul, kami ambil contoh salah satu ormas NU (Nahdhotul Ulama) yang berdasarkan pendirinya[6]; NU muncul sebagai alat dalam bernegara pada masa Orde Baru yang banyak megalami kekacauan di berbagai sisi. 

Hubungan agama dan Negara secara Ideologis, Hubungan negara dan agama dilihat secara ideologis harus diletakkan pada proporsinya sebagai pemikiran cabang, bukan pemikiran mendasar tentang kehidupan. Sebab pemikiran mendasar tentang kehidupan adalah pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan, serta tentang apa yang ada sebelum kehidupan dunia dan sesudah kehidupan dunia, dan hubungan antara kehidupan dunia dengan apa yang ada sebelumnya dan sesudahnya. 

Ideologi yang ada di dunia ada tiga, yaitu Sosialisme (Isytirakiyyah), Kapitalisme (Ra`sumaliyyah), dan Islam, maka aqidah atau pemikiran mendasar tentang kehidupan pun ada tiga macam pula, yakni aqidah Sosialisme, aqidah Kapitalisme dan aqidah Islamiyah. Masing-masing aqidah ini merupakan pemikiran mendasar yang di atasnya dibangun berbagai pemikiran cabang tentang kehidupan, termasuk di antaranya hubungan agama-negara. Aqidah Sosialisme adalah Materialisme yang menyatakan segala sesuatu yang ada hanyalah materi belaka. Tidak ada tuhan, tidak ada ruh, atau aspek-aspek kegaiban lainnya. 

Ide materialisme ini dibangun oleh dua ide pokok dalam Sosialisme yang mendasari seluruh bangunan ideologi Sosialisme, yaitu Dialektika Materialisme dan Historis Materialisme. Agama tidak mempunyai tempat didalam Sosialisme. Sebab agama berpangkal pada pengakuan akan eksistensi tuhan, yang jelas-jelas diingkari oleh ide materialism yakni hubungannya dapat diistilahkan sebagai hubungan yang negatif, dalam arti Sosialisme telah menafikan secara mutlak eksistensi dan pengaruh agama dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Agama merupakan candu masyarakat yang harus dibuang dan dienyahkan. Aqidah ideologi Kapitalisme, adalah pemisahan agama dari kehidupan (fashluddin ‘anil hayah), atau secularisme. Ide ini tidak menafikan agama secara mutlak, namun hanya membatasi perannya dalam mengatur kehidupan. Keberadaan agama memang diakui walaupun hanya secara formalitas namun agama tidak boleh mengatur segala aspek kehidupan, seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya. Agama hanya mengatur hubungan pribadi manusia dengan tuhannya, sedang hubungan manusia satu sama lain diatur oleh manusia itu sendiri.

Agama hanya berlaku dalam hubungan secara individual antara manusia dan tuhannya, atau berlaku secara amat terbatas dalam interaksi sosial sesama manusia. Agama tidak terwujud secara institusional dalam konstitusi atau perundangan negara, namun hanya terwujud dalam etika dan moral individu-individu pelaku politik. Aqidah Islamiyah adalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Akhir, dan qadar (taqdir) Allah. Aqidah ini merupakan dasar ideologi Islam yang darinya terlahir berbagai pemikiran dan hukum Islam yang mengatur kehidupan manusia. Aqidah Islamiyah menetapkan bahwa keimanan harus terwujud dalam keterikatan terhadap hukum syara’, yang cakupannya adalah segala aspek kehidupan, dan bahwa pengingkaran sebahagian saja dari hukum Islam (yang terwujud dalam sekulerisme) adalah suatu kebatilan dan kekafiran yang nyata. Allah SWT berfirman : “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan..” (QS An Nisaa` : 65) “Barangsiapa yang tidak memberi keputusan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (QS Al Maa`idah : 44). Berdasarkan ini, maka seluruh hukum-hukum Islam tanpa kecuali harus diterapkan kepada manusia, sebagai konsekuensi adanya iman atau Aqidah Islamiyah. Dan karena hukum-hukum Islam ini tidak dapat diterapkan secara sempurna kecuali dengan adanya sebuah institusi negara, maka keberadaan negara dalam Islam adalah suatu keniscayaan. Karena itu, formulasi hubungan agama-negara dalam pandangan Islam dapat diistilahkan sebagai hubungan yang positif, dalam arti bahwa agama membutuhkan negara agar agama dapat diterapkan secara sempurna dan bahwa agama tanpa negara adalah suatu cacat yang akan menimbulkan reduksi dan distorsi yang parah dalam beragama. Agama tak dapat dipisahkan dari negara. Agama mengatur seluruh aspek kehidupan melalui negara yang terwujud dalam konstitusi dan segenap undang-undang yang mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Perspektif islam, pembahasan hubungan agama-negara pertama-tama harus bertolak dari pemikiran mendasar (aqidah, fikrah kulliyyah). Mengingat kini ideologi yang ada di dunia ada3, yaitu Sosialisme (Isytirakiyyah), Kapitalisme (Ra`sumaliyyah), dan Islamiyah yang memikirkan hubungan agama dan Negara. Relasi Agama-Negara Menurut Sosialisme, Kapitalisme, Dan Islam. Aqidah Sosialisme adalah Materialisme (Al Maaddiyah)dunia ini tergantung dan hanya eksistensi material. Kemudian terbentuk dua ide pokok yaitu (Materialisme Dialektis, Materialisme Historis), Dan bagi mereka agama tidak ada pengaruhnya, dan hal ini dalam bernegara harus di buang.

                Aqidah ideologi Kapitalisme (pemisahan agama dari kehidupan), Webster dictionary mengatakannya sebagai system doktrin dan praktik yang menolak bentuk apa pun dari keimanan. Kapitalisme hubungan agama-negara bersifat separatif (suatu pandangan yang berusaha memisahkan agama dari kehidupan), karena agama tidak terwujud secara institusi dan konstitusi.

            Aqidah Islamiyah adalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Akhir, dan Qadar (taqdir) Allah. Aqidah ini merupakan dasar ideologi Islam yang darinya terlahir berbagai pemikiran dan hukum Islam yang mengatur kehidupan manusia. Aqidah Islamiyah telah memerintahkan untuk menerapkan agama secara menyeluruh dalam segala aspek kehidupan, yang tidak
mungkin terwujud kecuali dengan adanya negara. Firman Allah SWT yang artinya sebagai berikut:
 Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan.
Berdasarkan ini, maka seluruh hukum-hukum Islam tanpa kecuali harus diterapkankepada manusia, sebagai konsekuensi adanya iman atau Aqidah Islamiyah, karena hukum-hukum Islam ini tidak dapat diterapkan secara sempurna kecuali dengan adanya sebuah institusi negara, maka keberadaan negara dalam Islam adalah suatu keniscayaan. Karena itu, formulasi hubungan agama-negara dalam pandangan Islam dapat diistilahkan sebagai hubungan yang positif, dalam arti bahwa agama membutuhkan negara agar agama dapat diterapkan secara sempurna dan bahwa agama tanpa negara adalah suatu cacat yang akan menimbulkan reduksi dan distorsi yang parah dalam beragama. Agama tak dapat dipisahkan dari negara. Agama mengatur seluruh aspek kehidupan melalui negara yang terwujud dalam konstitusi dan segenap undang-undang yang mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Imam Al Ghazali dalam kitabnya Al Iqtishad fil I'tiqad halaman 199 berkata: agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar, agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalahpenjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang lenyap. Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ul Fatawa, juz 28 halaman 394 telah menyatakan: Jika kekuasaan terpisah dari agama atau jika agama terpisah dari kekuasaan niscaya keadaan manusia akan rusak. Sejalan dengan prinsip Islam bahwa agama dan negara itu tak mungkin dipisahkan, juga tak mengherankan bila kita dapati bahwa Islam telah mewajibkan umatnya untuk mendirikan negara sebagai sarana untuk menjalankan agama secara sempurna. Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menegaskan hal ini dalam kitabnya Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, juz V, halaman 308: Para imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad) rahimahumullah telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu wajib adanya, dan bahwa ummat Islam wajib mempunyai seorang imam (khalifah) yang akan meninggikan syiar-syiar agama serta menolong orang-orang yang tertindas dari yang menindasnya. Bahkan ahli sunnah, syi’ah, dan mu’tazilah pun menyetujui adanya imamah atau khilafah yang disetarakan sebagi suatu Negara.

Hubungan agama-negara dalam pandangan Islam harus didasarkan pada Aqidah Islamiyah, bukan aqidah yang lain. Aqidah Islamiyah telah memerintahkan penerapan agama secara menyeluruh, yang sangat membutuhkan eksistensi negara. Jadi, hubungan agama dan negara sangatlah eratnya, karena agama (Islam) tanpa negara tak akan dapat terwujud secara sempurna dalam kehidupan. Hubungan ini secara nyata akan dapat diwujudkan jika berdiri negara Khilafah.



Daftar rujukan

1. Ebook, Pdf Software, Kitab Fikih Kontemporer Karya Yusuf Al-Qadrawi.
2. Prof.dr. Azra Azyumardi, Pendidikan Kewarganegaraan. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Icce Uin Syarif Dan Prenada Media, ed.Revisi. 2003.
5. http://www.scribd.com/doc/13880477/Hubungan-Agama-Dan-Negara


[1]. Secara etimologis, syari’ah berarti jalan yang lurus. Sedangkan secara terminologis ia berarti hukum-hukum Allah yang ditujukan kepada hambanya melalui perantara Rasul-Nya.(Khalil, tt: 8).
[2]. Al-ahkam al-i’tiqadiyyah yang dimaksud adalah yang berhubungan dengan keyakinan seperti iman kepada Allah, Rasul, Malaikat, Hari akhir, dll. Semua ini dibahas dalam ilmu kalam atau ilmu tauhid.
[3]. Al-ahkam al-wujdaniyyah adalah yang berhubungan dengan akhlak, seperi zuhud, sabar, ridha, dll. yang dibahas dalam ilmu tersendiri yang disebut dengan ilmu akhlaq atau ilmu tasawuf.
[4]. Al-ahkam al-‘amaliyyah adalah yang berhubungan dengan perbuatan seseorang, seperti shalat, puasa, jual beli, zakat, dll yang menjadi objek bahasan ilmu fikih.
[5]. Ulama dgn lahan studi fikh, hadis, tafsir sastra, pemikirannya yang moderat, ia bersifat progresif dan inovatif. Al-Qaradhawi diambil dari nenek moyang Yusuf al-Qaradhawi yang berasal dari sebuah desa yang bernama Qaradhah, yang terletak di propinsi Kafr as-Syaikh, Mesir. Banyak orang yang membaca kata al-Qaradhawi dengan bacaan “al-Qardhawi” tanpa huruf a yang terletak antara huruf r dan huruf d, hal ini pernah dijelasakan oleh Yusuf al-Qaradhawi bahwa yang benar adalah dengan mengguakan “fathah” pada ra’-nya al-Qaradhawi bukan dengan “sukun”.
[6]KH.Hasyim Asyari, yang mengutip pemikiran Cendikiawan Mesir, (M.Al bahai: sifat masyarakat terbagi 2, yaitu: sekularisme radikal dan sekularisme moderat).

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | SharePoint Demo