20101222

sejarah perkembangan ilmu nahwu

BAB I
PENDAHULUAN
Kajian ilmu nahwu selama ini lebih menitikberatkan pada persoalan kaidah-kaidah atau ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk jabatan satu kata dalam kalimat. Dapat juga dikatakan bahwa pelajaran nahwu lebih fokus untuk mengetahui bagaimana bentuk akhir sebuah kata, i`râb ataukah mabni.Misalnya, menentukan apakah kata itu termasuk kategori marfû`ât, mansûbât, ataukah majrûrât untuk kata-kata yang berbentuk ism, atau kata tersebut masuk kategori marfû`at, mansûbat, ataukah majzûmat untuk kata-kata yang berbentuk fi`il. Maka pelajaran nahu selama ini lebih kepada membicarakan harkat akhir sebuah kata dan kemudian menjelaskan sebab-sebab dan ilalnya. Paling tidak materi-materi seperti inilah yang dijumpai dalam pembelajaran nahwu dari tingkat ibtidai, bahkan sampai perguruan tinggi di Indonesia sampai saat sekarang.

Beberapa dekade belakangan ini, orientasi kajian ilmu nahwu mulai terjadi pergeseran di kalangan akademisi, terutama oleh mereka pemerhati ilmu linguistik Arab. Yang semula kajian ilmu nahwu Arab lebih bersifat normatif dan aplikatif sekarang muncul kecendrungan yang kuat untuk membawa kajian dan pemikiran ilmu nahwu dalam tinjauan filsafat dan sejarah. Memahami sejarah pemikiran ilmu nahwu penting untuk mengetahui mengapa terjadi perbedaan-perbedaan dalam penetapan kaidah-kaidah nahwu yang berimplikasi pada sikap penerimaan dan keterbukaan dalam menerima perbedaan tersebut. Yang juga jauh lebih penting adalah dengan memahami sejarah pemikiran ilmu nahwu akan dirasakan betapa pentingnya perumusan dan perwujudan ilmu nahwu ketika itu dalam kerangka menjaga keotentikan atau kemurnian al-Qur’an, termasuk juga memelihara geniusitas bahasa Arab dalam makna yang lebih umum. Dapat dikatakan bahwa sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu nahwu berhubungan secara signifikan dengan fenomena yang terjadi dalam sejarah perkembangan dan peradaban Islam.


Selintas dalam perspektif sejarah Islam terlihat bahwa periode Khulafah Rasyidin terkenal dengan masa integrasi, ekspansi dan kemajuan dalam tahap awal. Dalam hal ekspansi misalnya, sebelum nabi Muhammad wafat tahun 632 M., seluruh semenanjung Arabia telah berada di bawah kekuasaan Islam. Pada masa-masa berikutnya daerah-daerah di luar Arabia jatuh ke bawah kekuasaan Islam pada periode Khulafa Rasyidin, terutama pada masa Abu Bakar (w. 13 H), Umar bin al-Khattab (w. 44 H), dan Usman (w. 36 H). Negara Islam yang masih “bayi” ketika itu disebut oleh ahli sejarah sebagai suatu kekhaisaran besar dan kekuatan baru yang terbesar. Mahmudunnasir melihat hal itu sebagai kontribusi terbesar yang dilakukan oleh Umar Ibn al-Khattab dalam sepuluh tahun kekhalifahannya dengan berhasil menaklukkan Irak, Iran, Siria, Palestina, dan Mesir.

Keberhasilan umat Islam menduduki wilayah yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan nonmuslim, terutama pada abad pertama hijrah periode Umar, telah membawa dampak yang cukup signifikan bagi peradaban Islam. Penaklukan tersebut telah melahirkan gerakan perubahan yang cukup luas mengenai pola perdagangan internasional, perniagaan warga perkotaan, pertanian, kemiliteran, dan pengaturan sistem pemerintahan. Di sisi lain, dengan semakin bertambahnya komunitas Islam yang berasal dari bangsa Persia dan bangsa-bangsa yang berada di bawah kekuasaan Romawi sebelumnya maka juga menimbulkan persoalan baru bagi dunia Arab Islam yaitu terjadinya distorsi dalam penggunan bahasa fusha oleh mereka sebagai bangsa “pendatang” terhadap mereka yang terbiasa dengan menggunakan bahasa Arab secara fasih.

Kondisi ini membawa keprihatinan yang begitu tinggi di kalangan ulama melihat semakin banyaknya jumlah pemeluk Islam dan orang yang berada di bawah kekuasaan Islam dengan semakin intensnya mereka menggunakan simbol-simbol bahasa keagamaan. Yang paling mengkhawatirkan adalah ketika banyak dari mereka yang melafalkan al-Qur’an secara tidak benar. Tetapi, fenomena tersebut telah menjadi sebuah realitas faktual yang harus dihadapi umat Islam ketika itu dan dari satu sisi dapat dikatakan sebagai implikasi negatif dari ekspansi yang dilakukan umat Islam.

Berangkat dari realitas tersebut lahirlah sebuah kesadaran di kalangan para sahabat dan ulama untuk membuat ketentuan-ketentuan yang baku tentang tata bahasa Arab, dalam hal ini nahu, guna menjaga orisinilitas dan keotentikan Qur’an. Di sisi lain, mereka yang bukan berasal dari bangsa Arab atau orang-orang yang telah menjadi “Arab” juga merasakan kebutuhan mendesak untuk mewujudkan nahu tersebut. Mereka turut serta mempelopori dan memprakarsai usaha ini, karena itu pulalah ilmu nahu tidak lahir di jazirah Arab, tetapi ilmu ini justru muncul pertama kali di Irak, Basrah. Adanya kesadaran relatif tinggi oleh kedua pihak meskipun dengan alasan dan kepentingan yang berbeda maka nahwu kemudian dirumuskan.

BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN

  1. LATAR BELAKANG TIMBULNYA ILMU NAHWU
            Orang arab pada dasarnya mempunyai dua tingkatan keahlian berbahasa arab, yakni bahasa dialek dan bahasa fasih.[1] Bahasa dialek digunakan sebagai bahasa percakapan dalam kehidupan sehari-hari misalnya seperti sedang berkumpul dengan keluarganya, dalam urusan mu’amalat sedangkan pada saat tertentu mereka harus menggunakan bahasa yang fasih, mereka pun sanggup melakukannya secara sempurna. Al-Qur’an dan sabda Nabi juga disampaikan dalam bahasa Arab yang fasih. ketika ummat islam berhasil melakukan ekspansi keberbagai kedaerah non arab, Mulai dari masa umar Bin Khattab sampai Ustman Bin affan. disitu dapat dipastikan orang arab harus berinteraksi dengan kalangan non arab. Akibat dari perkumpulan secara intens tersebut dan dalam waktu yang lama, bahasa arab mulai terpengaruh oleh bahasa-bahasa lain. Yang mengalami kekeliruan didalam mengucapkan bahasa yang fasih ( alqur’an dan hadist) bukan dari kalangan awam saja melainkan dari kalangan orang arab sendiri mengalami kekeliruan. Pada masa umar Bin Khattab sampai Ustman Bin affan belum ada tindakan untuk menyusun kaidah Qowaid Nahwiyah.

            Awal mula dibentuknya ilmu nahwu ini ialah. pada masa pemerintahan khalifah Ali Bin Abi Thalib wilayah kekuasaan islam melampaui sungai Eufrat, Tigris dan Dariyah, semakin luasnya wilayah yang dikuasai oleh islam pada saat itu, semakin banyak pulalah pemeluk agama islam. Pemeluk agama islam bukan hanya dari kalangan arab saja tapi dari dalam kalangan non arab sendiri juga banyak. Maka disitulah ditemukan kesalahan-kesalahan dalam membaca teks Al-Qur’an dan Hadist sebagai sumber ajaran islam. Khalifah Ali Bin Abi Thalib menganggap kesalahan-kesalahan ini sangat fatal terutama bagi orang-orang yang akan mempelajarai ajaran islam dari sumber aslinya yang berbahasa arab, oleh karena itu khalifah Ali Bin Abi thalib mempunyai inesiatifnya untuk menyusun Qowaid Nahwiyah dengan memerintahkan seorang muridnya yakni Abu Aswad Al Duali.

            Orang yang pertama menyusun ilmu nahwu ialah Abu Aswad Al-Duali. Terdapat suatu kisah yang dinukil dari Abul Aswad Ad-Duali, bahwasanya ketika ia sedang berjalan-jalan dengan anak perempuannya pada malam hari, sang anak mendongakkan wajahnya ke langit dan memikirkan tentang indahnya serta bagusnya bintang-bintang. Kemudian ia berkata, السَّمَاءِ أَحْسَنُ مَا. “Apakah yang paling indah di langit?”. Dengan mengkasrah hamzah, yang menunjukkan kalimat tanya. Kemudian sang ayah mengatakan, بُنَيَّةُ يَا نُجُوْمُهَا. “Wahai anakku, Bintang-bintangnya”. Namun sang anak menyanggah dengan mengatakan,  التَّعَجُّبَ اَرَدْتُ اِنَّمَا . “Sesungguhnya aku ingin mengungkapkankekaguman”. Maka sang ayah mengatakan, kalau begitu ucapkanlah, السَّمَاءَ اَحْسَنَ مَا . “Betapa indahnya langit”. Bukan, السَّمَاءِ أَحْسَنُ مَا.. “Apakah yang paling indah di langit?”. Dengan memfathahkan hamzah .[2]

 Dikisahkan pula dari Abul Aswad Ad-Duali, ketika ia melewati seseorang yang sedang membaca al-Qur’an, ia mendengar sang qari membaca surat At-Taubah ayat 3 dengan ucapan berikut,        أَنَّ اللهَ بَرِىءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولِهُ"”. Dengan mengkasrahkan huruf lam pada kata rasuulihi yang seharusnya di fathakan. Menjadikan artinya “…Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan rasulnya..” Hal ini menyebabkan arti dari kalimat tersebut menjadi rusak dan menyesatkan. Seharusnya kalimat tersebut adalah, "أَنَّ اللهَ بَرِىءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُوْلُهُ" “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.”

Karena mendengar perkataan ini, Abul Aswad Ad-Duali menjadi ketakutan, ia takut keindahan Bahasa Arab menjadi rusak dan gagahnya Bahasa Arab ini menjadi hilang. Kemudian hal ini disadari oleh khalifah Ali Bin Abi Thalib, sehingga ia memperbaiki keadaan ini dengan membuat pembagian kata, bab inna dan saudaranya, bentuk idhofah (penyandaran), kalimat ta’ajjub (kekaguman), kata tanya dan selainnya, kemudian Ali Bin Abi Thalib berkata kepada Abul Aswad Adduali, اُنْحُ هَذَا النَّحْوَ “Ikutilah jalan ini”.

Dari kalimat inilah, ilmu kaidah Bahasa Arab disebut dengan ilmu nahwu. (Arti nahwu secara bahasa adalah arah). Kemudian Abul Aswad Ad-Duali melaksanakan tugasnya dan menambahi kaidah tersebut dengan bab-bab lainnya sampai terkumpul bab-bab yang mencukupi. Kemudian, dari Abu Aswad Ad-Duali inilah muncul ulama-ulama Bahasa Arab lainnya, seperti Abu Amru bin ‘alaai, kemudian al Kholil al Farahidi al Bashri[3] (peletak ilmu arudh dan penulis mu’jam pertama) , sampai ke Sibawaih dan Kisai (pakar ilmu nahwu, dan menjadi rujukan dalam kaidah Bahasa Arab).

2. MUNCULNYA ISTILAH NAHWU
            Dari kejadian Diatas aswad menceritakan kepada Ali Bin Abi Thalib. Mendengar perkataan Aswad beliau berkata ketahuilah “ketahyuilah aswad ini terjadi karena percampuran bahasa arab dan bahasa asing . kemudian Ali Bin Thalib menyuruh kepada Aswad untuk membeli kertas. Setelah selang beberapa hari Ali Bin Abi Thalib mengajarkan tentang lughot-lughot bahasa arab. Beliau menyuruh kepada Aswad untuk mencatatnya. Yang pertama kali beliau ajarkan adalah masalah pembagian kalam yang jumlahnya ada tiga bagian yaitu : Isim, Fiil, dan Huruf. Kemudian beliau menjelaskan tentang jumlah yang menjadi sighot ta’ajub. Setelah itu sayyidina Ali memerintahkan kepada Abul Aswad agar mencari contoh-contoh lain yang sama dengan apa yang diajarkan oleh beliau. Dari sinilah ilmu ini kemudian dinamakan ilmu nahwu yang artinya contoh atau misal.

            Aswad Al-Dua;li merupakan seorang ulama kelahiran Basrah-Irak yang menjadi pelopor cikal bakal berkembangnya ilmu nahwu pada masa pemerintahan Ali bin Abi thalib. Beliau merupaka ulama yang prihatin dengan semakin maraknya lahn. Disamping itu Aswad juga seorang ahli qiroat (min ahli qurra dan ahli dalam seni baca al-Quran) tentu merasa bertanggung jawab untuk menjaga kitabullah tersebut tari pengaruh lahn.[4] Oleh karena itu dengan ketekunan dan keuletannya beliau merumuskan tanda bacaan tertentu untuk mempertahankan bacaann yang mutawatir sanadnya.

            Tanda baca yang dirumuskan Aswad ini sangat sederhana, yakni hanya penambahan tanda titik-titik. Titik dibagian atas sebuah huruf, titik dibagian bawah huruf, dan titik dibagian kiri atas sebuah huruf. Titik-titik inilah yang kemudian hari ini dikenal dengan istilah “ Fathah, kasrah, dhamah,”kemudian pada priode perkembangan nahwu dalam arti sebenarnya fathah, kasrah dan dhamah menjadi sangat penting dan merupakan bagian yang sangat urgen dalam pembicaraan ilmu nahwu tersebut, yaitu dijadikan sebagai tanda-tanda I’rab ( alamat al I’rab).

3. PERKEMBANGAN ILMU NAHWU
Perkembangan dan penyusunan sejarah ilmu nahwu dapat diruntut menjadi beberapa periode sebagai berikut ini:[5]
A. PERIODE PERINTISAN DAN PENUMBUHAN (PERIODE BASHRAH)
Perkembangan pada periode ini berpusat di Bashrah, dimulai sejak zaman Abul Aswad sampai munculnya Al-Khalil bin Ahmad, yakni sampai akhir abad kesatu Hijriyah. Periode ini masih bisa dibedakan atas dua sub periode, yaitu masa kepeloporan dan masa pengembangan. Masa kepeloporan tidak sampai memasuki masa Daulah Abbasiyah. Ciri-cirinya ialah belum munculnya metode qiyas (analogi), belum munculnya perbedaan pendapat, dan masih minimnya usaha kodifikasi. Adapun ciri-ciri masa pengembangan ialah makin banyaknya pakar, pembahasan tema-temanya semakin luas, mulai munculnya perbedaan pendapat, mulai dipakainya argumen dalam menjelaskan kaidah dan hukum bahasa, dan mulai dipakainya metode analogi.

Yang menarik pada masa ini para ulama nahwu terjun langsung kesetiap kampong-kampung arab badui untuk meneliti dan mengambil banyak sampel tentang kosakata arab yang murni atau pun susunan kalimat bahasa arab yang belum tercampur dengan dialek azam dan masuknya lahn. Setelah itu di tulis, seperti yang bilakukan imam kholil ahmad dalam menyusun kitab Al-A’in. disamping itu aliran ini terpengaruh oleh logika formal karena lebih cendrung menggunakan metode qiyas/silogisme karena melihat dari historisnya aliran ini mewarisi budaya helenis yunani, juga ilmu mantiq dan ilmu kalam berkembang pesat dikota basrah ini.

B. PERIODE EKSTENSIFIKASI (PERIODE BASHRAH-KUFAH)
Periode ini merupakan masa ketiga bagi Bashrah dan masa pertama bagi Kufah. Hal ini tidak terlalu mengherankan, sebab kota Bashrah memang lebih dulu dibangun daripada kota Kufah. Pada masa ini, Bashrah telah mendapatkan rivalnya. Terjadi perdebatan yang ramai antara Bashrah dan Kufah yang senantiasa berlanjut sampai menghasilkan apa yang disebut sebagai Aliran Bashrah dengan panglima besarnya Imam Sibawaih dan Aliran Kufah dengan panglima besarnya Imam Al-Kisa’i. Pada masa ini, ilmu nahwu menjadi sedemikian luas sampai membahas tema-tema yang saat ini kita kenal sebagai ilmu sharf.

Dan yang lebih menarik aliran kufah ini dalam menetukan suatu penelitian dengan menggunakan satu sampel saja sudah cukup. Aliran ini mengeritik aliran basrah karena aliran basrah terlalu rumit dan terpengaruh mantik yang membuat ilmu nahwu sulit untuk dipelajari.

C. PERIODE PENYEMPURNAAN DAN TARJIH (PERIODE BAGHDAD)
Di akhir periode ekstensifikasi, Imam Al-Ru’asi (dari Kufah) telah meletakkan dasar-dasar ilmu sharf. Selanjutnya pada periode penyempurnaan, ilmu sharf dikembangkan secara progresif oleh Imam Al-Mazini. Implikasinya, semenjak masa ini ilmu sharf dipelajari secara terpisah dari ilmu nahwu, sampai saat ini. Masa ini diawali dengan hijrahnya para pakar Bashrah dan Kufah menuju kota baru Baghdad. Meskipun telah berhijrah, pada awalnya mereka masih membawa fanatisme alirannya masing-masing. Namun lambat laun, mereka mulai berusaha mengkompromikan antara Kufah dan Bashrah, sehingga memunculkan aliran baru yang disebut sebagai Aliran Baghdad.

Aliran bagdad ini, melihat dari peran dan fungsinya adalah sebagai pendamai dari aliran basrah-kufah yang saling berseteru, mengkritik satu sama lain yang menganggap aliran merekalah yang paling benar. Tetapi dengan adanya aliran ini konfik antara madrasah basrah-kufah bias didamaikan seiring waktu berjalan. Pada masa ini, prinsip-prinsip ilmu nahwu telah mencapai kesempurnaan. Aliran Baghdad mencapai keemasannya pada awal abad keempat Hijriyah. Masa ini berakhir pada kira-kira pertengahan abad keempat Hijriyah. Para ahli nahwu yang hidup sampai masa ini disebut sebagai ahli nahwu klasik.

D. PERIODE ANDALUSIA (MASA KEEMASANNYA ILMU NAHWU)
Ketika Thariq bin Ziyad berhasil menaklukan Andalusi, banyak dari para prajurit bawahannya adalah para kaum terpelajar. Mereka menguasai bahasa, syair, dan nahwu. Wawasannya itu terlontar dalam obrolan-obrolan mereka. Jadi belum terbentuk ilmu yang sistematis.Khalifah Abdurrahman al-Nashir, seorang gubernur Andalusia, ketika itu menginginkan kekuasaannya kokoh dengan ilmu pengetahuan, syair, dan sastra, sebagaimana yang terjadi pada masa daulah Abbasiyyah. Setelah berpikir panjang, ia menganggap bahwa yang pantas mengurusi persoalan tersebut adalah Abu Ali al-Qali, yang memiliki kecenderungan pada bani umayah. Di mana ayahnya adalah seorang pelayan Khalifah Abdul Malik bin Marwan

Abu Ali dibesarkan di Bagdad, dan belajar pada guru-guru di sana. Ia adalah orang yang bersungguh-sungguh dalam belajar. Sehingga menguasai ilmu hadits, bahasa, sastra, nahwu, dan sharaf, dari guru-guru (masyayikh) yang sudah terkenal, seperti al-Harawi dalam bidang hadits, Ibnu Darastawih, salah seorang ahli nahwu dan sastrawan terkemuka, Zujaj, Akhfash, Ibnu Siraj, Ibnu al-Anbariy, Ibnu Abi al-Azhar, Ibnu Quthaibah dan yang lainnya. Ia tinggal di Bagdad selama 25 tahun.
Abu Ali telah mengarang beberapa kitab seperti al-Amali yang berisi tentang bahasa dan syair, kitab al-mamdud wa al-maqshur, al-Ibil wa nitajuha, hily al-insan, fa’alta wa af’alta, tafsir mu’allaqat al-sab’, dan kitab al-bari’ fi al-Lughah, yang disusun berdasarkan huruf mu’jam yang katanya setebal 3000 halaman. Selanjutnya, banyak dari orang Andalusia yang belajar kepadanya, seperti Ibnu Quthiyyah dan Abu Bakar al-Zubaidiy. Ibnu Quthiyyah adalah seorang ahli bahasa dan nahwu yang besar, di samping ia sebagai seorang penyair dan sejarawan. Sebagai ulama nahwu Ibnu Quthiyyah telah mengarang kitab al-Af’al. Sedang Abu Bakar al-Zubaidiy adalah seorang ahli nahwu yang sangat terkenal. Ia telah mengarang kitab mukhtashar al-‘ain.

Pada periode selanjutnya, di antara ulama nahwu Andalusia ada yang bernama al-Syalubaini. Ia adalah seorang imam dalam bidang nahwu. Begitu masyhurnya ia. Sehingga banyak siswa yang ingin belajar padanya. Ia telah mengarang kitab dalam bidang nahwu yaitu, kitab tauthiah. Ia lahir di Isybiliyyah pada tahun 562 H dan meninggal pada tahun 645 H..

Setelah Syalubaini, muncul dua orang ahli nahwu yang tak kalah populer, yaitu Ibnu Kharuf dan Ibnu ‘Ushfur. Kedua-duanya sama-sama memiliki pandangan sendiri-sendiri dalam bidang nahwu. Ibnu Kharuf berasal dari Isybiliyah. Ia adalah seorang imam pada zamannya dalam bahasa Arab di Andalusia. Ia adalah salah seorang yang mensyrahi kitab karya Sibawaih, di samping mensyarahi kitab-kitab lainnya seperti kitab al-jumal. Ibnu ‘Ushfur juga berasal dari Isybiliyyah yang membawa panji-panji Arab di Andalusia, setelah gurunya Abu Ali al-Qali. Dan ia telah banyak mengajarkan bahasa Arab di beberapa tempat di andalusia, seperti Isybiliyyah, Syirisy, Maliqah, Lurqah, dan Marsiyyah.

Periode selanjutnya adalah Ibnu Malik. Ia memiliki nama lengkap Jamaludin Muhammad bin Abdillah. Ia dilahirkan di kota Hayyan, salah satu kota di Andalusia sekitar tahun 600 H.. Ia belajar nahwu kepada ulama di kota tersebut, juga kepada Abu Ali al-Syalubaini. Kemudian ia berangkat ke Mesir dan Damaskus. Di sana ia mempelajari ilmu syaria’ah dan menjadi seorang ahli di bidang tersebut. Ia memperoleh kemasyhuran sebanding dengan kemasyhuran imam Sibawaih. Yang membedakan ia dengan ulama nahwu lainnya adalah karena ia sangat ketat dalam memegang kaidah nahwu. Hal ini terlihat dalam kaidah-kaidah yang tertuang dalam karyanya yang sangat populer, alfiyyah. Kitab ini mendapat posisi penting dalam bidang nahwu. Kitab ini telah menyedot jutaan pelajar untuk menghafalkannya, baik di Timur maupun di Barat sampai hari ini. Selain alfiyyah, ia juga telah mengarang sejulah kitab seperti, al-kafiyyah al-syafiyyah, al-Tashil, lamiyyat al-Af’al, al-Miftah fi Abniyat al-Af’al, dan Tuhfatul maujud fi al-maqshur wa al-mamdud. Menurut Ahmad Amin, Sibawaih telah menazhamkan nahwu Sibawaih, lalu mennjelaskannya dan mendekatkan pada masyarakat, dan membuat generalisasi, sehingga kita tidak jauh dari kebenaran. Ia juga seorang imam dalam bidang qiraat yang sangat luas ilmu bahasanya.

Ulama selanjutnya adalah Abu Hayyan al-Gharnathiy. Ia juga dianggap sebagai ulama besar nahwu Andaliusia. Ia seorang ahli bahasa Arab. Ia lahir dari keturunan Barbar. Ia lahir di tahun 654 H.. ia bermadzhab Zhahiriy sebagaimana Ibnu Hazm. Ia ahli dalam bidang nahwu, tafsir, hadits, dan syair. Karya-karyanya mencapai jumlah kurang lebih 65 buah kitab. Tapi yang sampai pada kita hanya sepuluh buah.

Sebagaimana telah diceritakan di atas, maka yang merintis madzhab Andalusia ini adalah Abu Ali al-Qali. Namun demikian sebagaimana disebutkan oleh Ahmad Amin, semua ahli nahwu semenjak Abu Ali al-Qali, masih bertaqlid pada nahwu Sibawaih. Kendati ada beberapa ulama seperti Ibnu Malik dan Abu Hayyan, mereka hanya beriajtihad madzhab -kalau dalam istilah fiqih-, tidak berijtihad muthlaq. Karena memang Khalil bin Ahmad al-Farahidi beserta muridnya Sibawaih telah meletakkan pondasi nahwu dengan pilar-pilarnya yang kokoh, yang sulit digoyahkan pula ditumbangkan.

Tetapi ada seorang ulama Andalusia yang mencoba menggoyangkan pondasi Khalil dan Sibawaih tersebut. Ia bernama Ibnu Madha al-Qurthubiy. Ia berijtihad dengan mutlak dalam bidang nahwu. Ia hidup pada masa dinasti al-muwahhidun. Ia diangkat menjadi pemimpin para Qadhi, ketika kepempinan Ya’kub bin Yusuf. Dinasti Muwahhidun sangat dikenal dengan keberaniannya dalam mempublikasikan madzhabnya. Hal itu ditandai dengan peristiwa pembakaran kitab-kitab madzhab fiqih, atas perintah Yusuf bin Ya’qub, dan menggiring masyarakat untuk memahami al-Qur’an dan hadits secara zhahir.

Menurut Dr. Syauqi Dhaif, masa ini adalah masa ketika dikarangnya kitab al-Radd ‘ala al-Nuhat. Masa ketika maghrib (Andalusia) memberontakan/revolusi masyriq (Bagdad), dalam segala hal, seperti fiqih dan cabang-cabangnya. Dan kenyataannya, sejak pertama berdiri, dinasti tersebut telah mengobarkan revolusi. Maka apabila kita melihat Yusuf membakar kitab madzhab-madzhab yang empat, artinya ia ingin mengembalikan fiqih Masyriq kepada tempat asalnya.

Begitulah kata Dhaif Langkah ini diikuti oleh Ibnu Madha al-Qurthubiy dengan mengarang kitab al-Radd ‘ala al-Nuhat, dengan maksud untuk mengembalikan nahwu Masyriq ke tempatnya. Atau denga kata lain, ia hendak menolak beberapa pokok bahasan nahwu Masyriq dan memurnikannya dari cabang-cabang dan ta’wil sudah usang. Ia ingin menerapkan madzhab zhahiri pada bidang nahwu, sebagaimana pemimpinnya. Ibnu Madha hendak merobohkan madzhab Sibawaih. Ia mengarang tiga buah kitab, yaitu al-musyriq fi al-nahw, tanzih al-Qur’an ‘amma la yaliqu bil bayan, dan al-Radd ‘ala al-Nuhat. Ketiga kitab tersebut berisi bantahan atas nahwu Sibawaih beserta para pendukungnya, serta menganjurkan untuk membentuk nahwu baru.

Setelah tiga periode diatas, ilmu nahwu juga berkembang di Mesir, dan akhirnya di Syam. Demikian seterusnya sampai ke zaman kita saat ini.

  1. TUJUAN DISUSUNNYA ILMU NAHWU
Tujuan utama penyusunan ilmu nahwu ialah agar bahasa Arab yang fasih tetap terjaga sehingga Al-Qur’an dan hadits Nabi juga terjaga dari kesalahan (lahn). Disamping itu menjaga lisan pemeluk agama islam yang berasal dari kalangan bukan arab (azam) seperti kita orang indonesia, ataupun dari orang mawali, orang yang kawin campur dengan orang arab agar dapat mempelajari Al-Qur’an dan Hadist secara benar untuk dijadikan sumber hukum islam. Di sisi lain, ilmu nahwu juga bisa dipakai sebagai sarana untuk mengungkap keajaiban bahasa Al-Qur’an (اعجاز القرآن).

BAB III
SIMPULAN
Ilmu nahwu merupakan sebuah ilmu penting dalam menjaga kaidah tata bahasa arab supaya bahasa arab itu terjaga dari keruksakan dan bercampur dengan dialek amiyah. Dalam penyusunannya terdapat berbagai polimik dimualai dari berdirinya madhab basrah sebagi sumber dan madhab nahwu tertua, dalam preodesasinya munculah madahab kufah sebagai saingan madhab basrah kemudian disusul madhab bagdad, madhab andalus dan mesir. Setiap madhab mempunyai metode dan analis berbeda dalam penyusunan ilmu nahwu terkadang dengan adanya madhab-madhab tersebut ilmu nahwu dirasakan sulit untuk dipelajari tetapi dalam perkembangannya ilmu nahwu mencapai taraf kematangan dan kesempurnaan sehingga lebih mudah dipelajari dan dipahami. Ilmu nahwu merupakan kunci untuk memahami hadist dan quran yang menjadi mukjizat umat islam oleh karena itu ilmu ini harus dipelajari oleh setiap umat muslim. Sudah semestinya umat muslim dalam menulis, melafalkan dan berbicara bahasa arab kita mesti menggunakan kaidah nahwu karena itu adalah warisan dari pendahulu kita yang hebat. Dengan disusunnya ilmu nahwu oleh para pendahulu kita yang luar biasa, kita sebagai generasi yang hidup pada zaman sekarang harus bisa menjaganya dan menggunakan bahasa arab harus dengan sesuai kaidah nahwu.

DAFTAR PUSTAKA

Dhaif Sauki, Madarisu An-Nahwiyyah, Cet 4 (Kairo; Darul Ma’arif), 1976.
Hitti Philip K, History Of The Arab, Cet I (New York; PT. Serambi Ilmu Semesta), 2006.
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Dan Kebudayaan Islam II, Cet I (Jakarta; Kalam Mulia), 2001.
Toha Ahmadie, Muqodimah Ibnu Khaldun, Terjmahan Cet VIII (Jakarta; Pustaka Firdaus), 2009
Muhamad Zulkifli, Sejarah Perkembangan Ilmu Nahwu //http;www Pondo0k Arab HTML//. Dikutip pada 21 desember, jam 16.23 WIB.

Uya entreupeneurship  Sejarah Ilmu Nahwu | Sabtu, 24 Juli 2010 |





[1] tingkatan tersebut ialah; Pertama, tingkatan bahasa fasih, yang berupa bahasa patron yang disepakati, dan berkiblat pada dialek Quraisy yang digunakan dalam bidang keagamaan, politik, perdagangan, dan kebudayaan, sampai- sampai kabilah-kabilah Arab menjadikannya sebagai kiblat dalam berbagai bidang kehidupan. Kedua, tingkatan dialek, yang terdiri dari dialek-dialek berbagai kabilah yang sangat banyak jumlahnya, yang mana cara dan tradisinya berbeda satu sama lain sampai pada batas-batas tertentu.
[2] Muhamad Zulkifli, Sejarah Perkembangan Ilmu Nahwu //http;www Pondo0k Arab HTML//. Dikutip pada 21 desember, jam 16.23 WIB.
[3] Seorang ulama nahwu basrah lainnya yang meninggal sekitar 786 H. beliaulah yang merupakan sosok orang pertama yang menyusun kamus bahasa arab, kitab al Ayn. Disamping itu ialah yang telah menemukan struktur dan aturan bahasa arab yang hingga kini masih berpengaruh di jadikan sebagai landasan para pakar nahwu.
[4] Adalah bahasa yang tidak mengikuti aturan dan kaidah tata bahasa, termasuk didalamnya solesisme-kesalahan menerapkan tatabahasa dab barbarism menggunakan bahasa semaunya. Lahn sebagai halnya kajian humaniora, merupakan suatuy phenomena yang mewarnai sejarah islam, bukan pra islam. Lahn dianggap sebagai kemorosotran dari bahasa arab klasik. Lebih jelasnya lihat George Abraham Makdisi, cita Humanisme Islam, cet I (Jakarta; Serambi. 2005), hlm. 193-194.
[5]UkonPurkonudin, Sejarah Penyusunan Nahwu, WWW.http.ukonpurkonudin.blogspot.com, dikutip pada 21 desember 2010 jam 16.15 Wib

1 komentar:

wendeecabaniss mengatakan...

Slot Machines | Dr. MSD
Learn about the 밀양 출장안마 best casinos 당진 출장샵 with Slot Machines and learn where to play online slots for real 군포 출장마사지 money in 밀양 출장샵 Michigan! slot machines, casino games, 제천 출장마사지 video poker, roulette.

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | SharePoint Demo